Malam ini aku tidur bertiga. Adik perempuanku yang masih berumur lima tahun tidur di dekat pintu, temanku Aceng di tengah dan aku di sebelahnya. Dini hari, tepat pukul 02.15, adikku bangun. Kamipun ikut terbangun, meski hanya menggeliat malas tak peduli. Ia mengusap-ngusap matanya dengan jari-jarinya yangmungil. Setelah itu ia terlihat mesem, senyum sendiri, lucu skali. Awalnya biasa saja, tak ada yang aneh. Tapikemudian senyum itu menjadi tawa. Ia menggoda Aceng yang saat itu ingatanya timbul tenggelam karena kantuk.Aku hanya mengintip dari sudut mataku yang malas.
Sama sekali aku tak menghiraukan. Mereka seperti asyik bermain. Padahal ini kan dini hari, pikirku dalam hati. Ah, biarkan saja lah! Akupun kembali menganyam kapuk. Tapi, baru saja aku memejamkan mata, tiba-tibatelingaku diusik suara mereka yang semakin gaduh dan terdengar aneh. Terlebih tawa adiku yang cekikikan.Membuat bulu kuduku merinding, berdiri meregang. Dan malam di Januari ini terasa mencekam.
Aku perhatikan mereka dengan posisiku yang masih terjaga. Kulihat kedua bola mata adiku memekathitam. Hitam memenuhi matanya. Hitam sempurna. Sambil terus cekikikan tak berhenti, giginya yang rapih dan manis seketika itu berubah menjadi tidak rata seperti gergaji. Kuku-kuku tangannya yang semula kecil mungil, sekarang kasar memanjang. Tajam menggerayangi pinggang Aceng. Herannya, Aceng juga ikut-ikutan aneh. Ia tak biasanya bercanda terlalu ria. Apa lagi dengan anak kecil, karena dia tak suka anak kecil.
Mereka berdua smakin menjadi, membuatku risih. Di tengah pagi buta mereka membuat kegaduhan, takut mengganggu tetangga yang sedang tidur. Sentak, aku guncang tubuh Aceng. Tapi sepertinya ia tak sadar. Ia seperti terhipnotis dan kehilangan kewarasannya.
“Ceng! Ceng! Sadar, Ceng!” Gertakku tak didengarnya.
Beberapa kali kuguncangkan tubuhnya dan terus menyamatnya, dia tetap saja tak peduli. Tapi ternyataada yang sedang memperhatikanku, adikku. Menghentikan tawanya dan mengarahkan pandangannya kepadaku.Senyap. Kegaduhanpun lenyap. Anganku ratug, dadaku bergetar. Keringat dingin mengucur di seluruh tubuhku.Tak berani aku tunjukkan mukaku ke arahnya.
Aku hampir kehilangan kendali. Tubuhku lemas namun tetap aku kuatkan agar tidak jatuh dan pingsan. Perlahan aku palingkan mataku kepada Adik karena penasaran mendapati ia diam. Tapi apa yang aku lihat?Pandangannya tajam, menyibak kemarahan dari wajahnya. Adiku yang lugu, lucu dan manis itu berubah menjadi sosok yang menakutkan. Dia terus menatap ke arah kami berdua, dan Aceng pun kini sadar dan sangat ketakutan. Kembali adikku tertawa cekikikan sambil tak melepas pandangannya kepadaku. Wajahnya pucat mayat. Tangan-tangannya diangkat dan mendekati wajah kami yang ketakutan. Kulirik sepintas celana Aceng basah, dan cairan hangat juga membasahi selangkanganku. Gaapp...! Tangannya mencekik leher kami. Kami kesulitan bernafas. Bahkan untuk berkata tolong pun kami tak sanggup.
Wajah kami memerah padam, menahan aliran darah yang biasanya hilir mudik di sekitar leher dan kepala. Kami tak mampu bertahan, hanya pasrah yang bisa dilakukan. Di sela ketakutan dan ketegangan itu, sempat aku berpikir, tak percaya dengan apa yang terjadi saat ini. Masa iya, seorang bocah perempuan berumur lima tahun bisa sekuat orang dewasa. Bahkan lebih kuat dari tiga orang perempuan dewasa atau satu orang laki-laki dewasa. Sangat mustahil.
Sementara kami hampir meregang nyawa, tiba-tiba ada seseorang membisiki telingaku dari arah belakang dengan nada lemah, seperti kakek-kakek yang sudah udzur.
“Kau ingat saat kau bermain ria dengan adikmu?” ucapnya samar.
Lalu aku jawab dengan sedikit memaksa menganggukan kepala dua kali, tanda aku mengiyakan.
“Masih ingat saat kau dimarahi ibu dan bapakmu habis-habisan karena kau bercanda terlalu berlebihan dan hampir membunuh adikmu?” Sekali lagi aku anggukan kepala.
“Nah, hanya itu satu-satunya penangkal yang bisa melepaskanmu dari cengkraman tangan adikmu yang kerasukan,” paparnya.
Lagi, aku bersemangat menganggukan kepalaku meski kesakitan.
“So, gutlak ya, semoga berhasil. yuk ah ciiin, aku pergi dulu. Capcuuuuuuussss…!”
Begitu kalimat terakhir dari seorang misterius yang membisikkanku.
Tanpa berlama-lama, aku langsung pasang kuda-kuda jemariku. Dan… “Rasakan ini, jurus gelitikan maut Aziz Tanggoli, si pembela kebenaran dan keadilan. Ciaaaaaattt!” Teriakku bersemangat menumpas kejahatan. Persis seperti di film-film heroik anak-anak. Tanganku yang sudah terlatih menggelitiki pinggang dan seluruh bagian tubuh yang sensitif menerima rangsangan. Melihatku, Aceng pun kemudian mengikuti apa yang aku lakukan. Adikku kegelian dan tak mampu menahan gempuran serangan dari dua superhero yang mencoba melepaskan diri dari cengkramannya.
“Hahaha... ampun kak... ampun kak! Hahaha...,” teriaknya berkali-kali dibarengi tawa ngilu, sangat lucu. Wajahnya yang tadinya seram buram, kini menjadi menggemaskan. Membuat kami ikut tertawa dan rasa takut pun hilang sirna. Melihat adikku terpingkal geli menahan tawa, semakin membuat kami tak ingin berhenti dan terus menggelitikinya. Sampai akhirnya adikku tak kuat lagi, habis tenaganya, tak sadarkan diri. Sekarang ketakutanku bukan karena hantu atau orang kesurupan, tapi aku takut kejadian itu terulang kembali. Adikku hampir mati dan aku dimarahi bapak dan ibu habis-habisan.
Benar yang aku bayangkan. Tak lama kemudian tanda-tanda kehadiran ibuku yang galak aku rasakan. Bak petir di siang bolong melompong, dini hari yang sunyi berubah menjadi riuh gaduh.
“Aziiiiiiiiizzzz…! Ke sini kamu...!” Panggilnya dengan suara menggeram. Ketakutanku melihat hantu tak seberapa jika dibandingkan dengan ketakutanku saat ibu memarahiku. “Aziiiiiiiizzz…! Aziiiiiiizzz...!” Kembali dia memanggil-manggil namaku. Sumpah demi Tuhan aku ketakutan. Aceng tertawa melihatku gemetaran. “Aziizz...! Aziizz...!” Demikian panggilan itu terus berulang-berulang dan seakan bersahutan saling memantulkan. Dan akhirnya ibuku tiba di depanku dengan mata melotot dan membawa sebilah golok di tangan kanannya. Oh tidak, kali ini ibu benar-benar akan membunuhku. Lagi-lagi saat terpojok seperti ini aku baru mengeluarkan jurus-jurus andalanku. Jurus kedua, yaitu jurus kaki seribu.
“Lariiiiiiii...!” Teriakku mengajak Aceng berlari. Kami segera membuka pintu dan lari keluar sambil berteriak-teriak. “Lariii… lariiii... lariii... lariii... jangan berhenti!”
Lalu sembari kencang berlari kututup mata agar aku tak melemah. Setengah sadar aku masih mendengar panggilan itu tetap bergaung di telingaku. Bahkan sekarang semakin kencang. “Aziiiizzz…! Aziiiizzz...! Bangun! Ayo sholat subuh, nanti kesiangan!” Kemudian aku buka mataku. Kuperhatikan keadaan sekitar dengan waspada. Kulihat Aceng masih mendengkur, begitu juga adikku masih pulas terjaga dengan empeng di mulutnya. “Allamaaaakkk…! Ternyata cuma mimpi. Huuuuhh...,” aku menghela nafas.
“Aziiiiizzz…! Aziizzz...! Cepat sholat, Nak, uda jam lima pagi!” Kembali suara itu terdengar.
“Iya, Bu! Aziz sekarang ambil wudhu.”
Aziz Tanggoli