Kamis, 18 September 2014

Lagu Untuk Laki-laki Di Bus Damri

        Saat ini, kebetulan aku mengikuti event yang diadakan oleh Senat Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati Bandung; yang diadakan di Metro Indah Mall Bandung, yaitu Senat Mencari Bakat (SMB). Event ini diadakan untuk menggali bakat-bakat tersembunyi dari para mahasiswa sains yang ada di lingkungan UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Juga bertujuan untuk menghilangkan image mahasiswa sains yang kuno, katro, cupu dan tidak gaul, bagi sebagian orang yang menilainya seperti itu. SMB ini ingin menegaskan bahwa mahasiswa sains tidak melulu hanya bergumul dengan penelitiannya di laboratorium dengan modul-modulnya yang jenius, kepalanya penuh sesak dijejali rumus-rumus. Tapi, sejatinya mereka dapat bersosialisasi baik dan menjalin interaksi dengan kalangan umum di luaran sana.
            Acara yang digelar adalah pentas seni. Setiap peserta boleh unjuk gigi dan mengeksplorasi skill-nya di bidang musik, tari, break dance, sulap, atau apapun yang berbau seni. Dalam acara ini, peserta bebas berekspresi dan berkreasi tanpa dibatasi. Bintang tamunya Haur Genjleng, kelompok karawitan Sunda dari Bandung.
            Minggu pagi sekitar jam enam aku bersiap. Mandi, gosok gigi, memakai pakaian terbaik dan tak lupa berias diri di depan cermin. Terkesan narsis memang, untuk seorang anak laki-laki. Tapi ini bukan urusan harga diri, tapi soal gengsi. Aku harus tampil memukau saat perform nanti. Setelah dirasa sudah rapih dan matching, aku pun memantapkan kepercayaan diri dan berangkat pergi.
            Sekitar jam tujuh lebih tujuh menit aku berangkat dari persemayamanku di sekretariat HIMASAIFI Cileunyi. Aku menggunakan angkot jurusan Cileunyi-Caheum dan berhenti di Bundaran Cibiru yang menjadi transit menuju tujuan yang berada di Jalan Soekarno-Hatta. Dari sini aku harus naik Damri jurusan Cibiru-Elang agar bisa sampai ke Metro Indah Mall.
            Di perjalanan, aku disuguhi nyanyian para pengamen yang naik turun dan tarian lalu lalang pedagang asongan yang keluar masuk kendaraan. Diwarnai serengehan gigi dari bibir-bibir jeding dan kerut kening para penumpang yang merasa gerah kepanasan dipanggang suhu sekitar 35 derajat di daerah Bandung bagian timur. Di pertengahan jalan, sekitar daerah Cibaduyut, sesaat ketika aku sedang menikmati asyik lagu balada yang dibawakan dua orang pengamen, tiba-tiba bus Damri berhenti. Terdengar suara laki-laki menyeru dari luar.
“Eh, sia an****! Ku aing di dagoan ti tatadi teu datang-datang. Aing cangkeul kop*** nungguan teh!”
Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yang kasar: “Eh, an**** lo! Gua tungguin dari tadi gak dateng-dateng. Gua pegel gob***!” Begitu laki-laki itu bicara kepada kondektur bus.
Sang kondektur menjawab dengan raut takut. “Punten, A', ti selterna rada telat. Penumpangna saeutikan ayeuna mah.” (Maaf, Mas, dari shelter-nya agak telat. Penumpangnya sekarang lagi sedikit.)
Tak mau tahu, si laki-laki itu menimpal pernyataan kondektur. “Yeuh, Sia! Aing mah teu hayang nyaho. Nu penting jatah aing mah kudu aya! Mana kadieukeun?!” Katanya dengan garang sambil menengadahkan tangan.
            Akhirnya, lama berselang; takut menyita waktu, supir meneriakan peringatan kepada mereka yang sedang berbincang tegang.
“Meunggeus, bere weh ngarah rehe. Urang geus telat yeuh!” (Sudah, kasih aja biar dia diam. Kita udah telat nih!)
“Naon, sia! Montong ngilu riweuh, hayang ditenggeul ku aing?!” (Apa lo! jangan ikut campur, mau aku pukul, hah?!) Sentak laki-laki itu dengan muka garang.
Si sopir pun diam. Sementara si kondektur mengeluarkan lima lembar uang seribuan dari saku baju dinasnya. Dan memberikannya kepada laki-laki itu.
            Kami, para penumpang yang dari tadi ikut tegang menyaksikan persenggamaan kasar itu mulai tenang, setelah kondektur memberikan uang. Namun apa yang  terjadi? Belum juga cair ketegangan itu, laki-laki itu berulah lagi.
“Nek, aing ngilu numpang lah, rek balik ka imah.” (Nek, gua ikut numpang ya, mau pulang ke rumah.) Katanya sambil naik ke dalam bus.
            Kebetulan sekali, aku duduk paling belakang, di kursi pertama dekat pintu. Laki-laki itu tepat sekali menatapku dengan pandangan sinis penuh amarah ingin menguasai.
“Geser ka ditu lah, aing hayang diuk didieu deukeut lawang, hareudang.” (Geser ke sana lah, gua pengen duduk di situ deket pintu, gerah.) Katanya kepadaku.
Aku pun mengiyakan, karena takut dia bertindak macam-macam dan melukaiku. “Sok, mangga, A', abi kapalih dieu.” (Iya, silahkan, Mas, saya sebelah sini saja.) Kataku sambil menggeser bokongku dan duduk di kursi kedua, di sebelahnya.
            Selama di dekatnya, aku diam tak berkutik dan tak bersuara. Pucat pasi wajahku menandakan bahwa aku sangat ketakutan berada di sebelahnya. Yang paling membuatku meringis adalah saat melihat gambar yang menutupi tubuhnya, tak terkecuali wajahnya. Aku lihat, ia memakai kaos singlet oblong. Jelas sekali gambar wanita telanjang di lengan kirinya  yang terbuka. Gambar kepala naga hijau tertusuk pedang bertengger di wajahnya yang kusam. Dan di betis kanannya terlihat ekor naga itu terbelit melintang. Sepertinya seluruh badan laki-laki itu dibalut penuh dengan tattoo.
            Aku hanya memperhatikannya dengan sudut mata, tapi ternyata diam-diam ia tahu bahwa dia sedang dalam pengawasanku. Laki-laki itu pun menegurku. “Naon maneh! Ti tatadi ningalikeun aing wae!” (Apa lo! Dari tadi merhatiin gua mulu!) Tegasnya kepadaku.
Aku melihat kemarahan dari matanya yang merah menyala. Dengan gugup seperti sedang menghadapi ujian lisan aku menjawab, “Henteu, A', teu nanaon.” (Enggak, Mas, gak apa-apa.)
Namun, laki-laki bertato itu kemudian meneruskan tegurannya dengan nada yang merendah. “Kunaon, A', sieun ku abi?” Tanyanya.
Aku diam saja.
“Wajar, A', mun Aa' sieun. Pasti ningali kana waruga abi nu jelas-jelas barandalan. Tapi sabenerna mah, abi kieu teh lain kahayang. Kapaksa, A'. hayang nyukupan pangabutuh. Da gening hirup the ripuh, hese neangan gawe. Komo keur lulusan SMP jiga abi mah, perusahaan mana nu daek narima. Nu matak abi ngahaja panampilan kieu teh, ngarah dipikasieun ku batur, ngarah daraek marere, paduli ka sasama.” (Wajar, Mas, kalau Mas takut. Pasti karena liat keadaan saya yang jelas-jelas berandalan. Tapi, sebetulnya saya gak mau seperti ini. Terpaksa, Mas. Demi mencukupi kebutuhan. Yah, hidup sekarang itu payah, susah nyari kerja. Apalagi hanya lulusan SMP seperti saya, perusahaan mana yang sudi menerima.) Terangnya penuh emosi.
            Pada akhirnya, melihat laki-laki itu meratap. Naluri sosialkupun mulai peka, dan meresponnya dengan membalas obrolan yang ia lontarkan. Tak terasa selama perjalanan, kami terus saling bertukar pengalaman dan saling memberikan masukan. Yang akhirnya, aku menyimpulkan bahwa ternyata penampilan kadangkala menipu dan jauh dari perwujudan sebenarnya. Yah, mereka adalah kaum marjinal yang terasingkan dari kehidupan yang layak. Mereka memilih jadi orang lain untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Tak apalah, mungkin itu jalan yang mereka pilih. Toh jika ada pilihan yang lebih baik, laki-laki itu berkata kepadaku akan meninggalkan segala bentuk kebohongan yang ia lakukan atas dirinya.
            Satu setengah jam perjalanan, akhirnya sampai di tempat tujuan, Metro Indah Mall. “I am comming SMB! Aku siap beraksi!” Teriakku girang karena sebentar lagi aku perform.
Acarapun dibuka pada jam 8.30 dengan pementasan seni tradisional dari kelompok seni karawitan Haur Genjleng. Tiba giliranku di undian ketujuh, aku membawakan sebuah lagu yang aku ciptakan sendiri, berjudul “Optimislah”. Dengan diiringi petikan gitar dan gonjrengan semu blues, aku bernyanyi penuh semangat. Di tengah-tengah lagu, untuk mengisi kekosongan melodi karena aku bermain sendiri, maka aku berdialektik narasi menceritakan isi lagu dan pesannya kepada juri dan penonton, tanpa berhenti memainkan gitar.
“Persis seperti penyanyi balada Iwan Fals yang sedang perform di panggung besar di tengah lapangan Gasibu Bandung minggu lalu.” Harapku dalam lamun.
Lagu ini memang berceritera tentang perjalanan hidup seseorang saat berjuang melawan hidup yang tak bersahabat dengannya. Dan kemudian seseorang teman datang untuk menyemangatinya agar ia bertahan dan bisa jadi pemenang.

OPTIMISLAH
Song 1: menapaki ruang yang gelap
tak sedikit pun cahaya menerangiku
merasakan terik menyengat,
panas matahari membakarku
Bridge: percaya, waktu bisa merubah segalanya
Reff:    yakinkanlah, bahwa dirimu
            mampu dan tak akan pernah kau menyerah
            optimislah dengan dirimu
            percayalah, bahwa bersama kita bisa
Song 2: bukan keadaan yang salah
hanya saja kita yang terlalu lemah
terpedaya buayan dusta
terjerat tipu manis dunia
Bridge: pastikan, kita bisa merubah segalanya
Kembali ke reff (2X)

(Lagunya bisa di dengerin disini)
Begitulah, aku sangat menikmati nyanyianku. Hingga aku tersadar betapa banyak decak kekaguman dan tepukan tangan para penonton yang memenuhi seisi ruangan di kafe Kampung Periangan, lantai paling atas Metro Indah Mall. Tak lama berselang, setelah aku selesai perform dan menerima banyak sekali ucapan hebat.
“Wah, suaramu bagus, permainan gitarmu ngeblues. Lagu kamu sangat unik dan nyentrik, tapi syarat makna dan memotivasi. Lolos ke final ya,” kata salah satu juri perwakilan dari Purwacaraka Music Studio.
Di tengah riuh itu, tiba-tiba aku teringat laki-laki di bus Damri tadi. Sebenarnya, sebelum perform aku sudah menyiapkan lagu dengan judul yang berbeda. Tapi setelah perjalanan dan perkenalan singkat dengan laki-laki ber-tattoo itu, aku berubah pikiran dan ingin menyanyikan lagu “Optimislah,” yang tadi aku nyanyikan.
***
Dan, laki-laki itu sudah keluar lebih dulu dari bus, di persimpangan jalan dekat stopan, sebelum aku sampai.
“Kawan, semoga kau mendengarkan nyanyianku tadi yang kupersembahkan untukmu. Kuharap suatu saat aku bertemu lagi denganmu, dengan pakaianmu yang beda, kulit berbeda dan suasana yang berbeda. Kutahu kau tak inginkan itu, Kawan. Semoga kau dapatkan dirimu yang lebih baik, suatu saat, pada waktu yang baik dan tepat.”


Bandung, 2011
Baca selengkapnya » 0 komentar

Rabu, 06 Agustus 2014

6 Agustus 2014



Syukur dipanjatkan kepada maha pemilik kehidupan, pemilik raga, pemilik nafas yang berhembus hilir mudik menembus rongga dada; juga pemilik rasa yang senantiasa menanamkan keyakinan luhur, hingga aku bisa menikmati kenikmatan, keindahan dan kemurahan. Tuhan, terimakasih sudah mengizinkanku hidup sampai kini. Maafkan aku yang alpa, aku gila dan hina. Tapi engkau masih percaya padaku untuk masih memiliki ruh dan jasad ini.

Terimakasih banyak, sebanyak tak terkira kepada sanak saudara, sahabat dan teman-teman seperjuangan, dan banyak yang mungkin hanya kenal tanpa mengenalku luar dalam; atas do'a yang di haturkan di waktu kelahiran seorang Aziz Tanggoli, anak manusia. Semoga do'a yang terapal menjadi mustajab dan mabrur. Sehingga do'a kalian kemudian kembali pada kalian. Maafkan jika kegilaanku pernah melukai perasaan, mengingkari keluhungan budi dan menodai pekerti. Aku hanya manusia biasa.

Akhirnya, pada Allah, Tuhanku; aku mengucap syukur atas nikmat umur. Semoga siapapun aku dan makhluk yang bernyawa lainnya senantiasa menyukuri, menikmatinya dengan gembira, memanfaatkanya untuk kebaikan, sampai mengingatnya untuk kematian. Tiada Tuhan, selain Allah pencipta semesta alam.
Baca selengkapnya » 0 komentar

Kamis, 10 Juli 2014

Pada Tuhan Untuk Palestina

Oleh: Aziz Tanggoli

Darah membeku raga menegang
Nyawa binasa mati meregang
Langit tak lagi biru, hitam dibalut abu
Pelecehan, pemerkosaan, pembunuhan, pembantaian; besar-besaran

Dunia tak lagi damai, berserak bangkai-bangkai
Disiksa, dihujam, dihunus pedang, di tembus peluru di dada bersarang
Tuhan, ampuni mereka yang sekarat
Binasakan mereka yang laknat

Tak terhinakah engkau, Tuhan?
Ini bumimu; milik-Mu
Aku mohon pada-Mu, saksikan mereka diujung perang
Adili dengan adil, adil seadil-adilnya, Tuhan..

Bandung, Indonesia, 10 Juli 2014

***
Puisi ini didedikasikan untuk saudara-saudaraku di Palestina, di Gaza.
Aku menangis melihat dunia tak lagi aman bagi mereka warga Palestina. Terutama yang berada di jalur Gaza. Aku berdo'a untuk mereka, pada Tuhan, semoga Tuhan mengadili apa yang kita saksikan saat ini. Aku dan kalian pun yakin, bahwa Tuhan tidaklah buta, tuli, dan tak peduli. Tuhan, tau, dengar dan saksikan. Kelak kekacauan ini akan dipertanggungjawabkan.

#PrayForGaza #PrayForPalestine #SaveGaza #SavePalestine

Baca selengkapnya » 0 komentar

Sabtu, 07 Juni 2014

Cita-Cita Kecil



Gambar Dari:  
omenkstory.wordpress.com


Pernahkah kalian mempunyai keinginan atau sebuah harapan di masa kecil? Tentu pernah. Keinginan atau harapan itu disebut cita-cita. Daya khayal yang tinggi, eksplorasi pengetahuan melanglangi dunia imajinasi. Ketidak masuk akal-an seolah sah, dan tidak mendapati sanksi apapun. Kita bebas berkhayal, kita bebas bermimpi dan kita bebas melakukan apapun dalam sisi imajinasi kita. Betapa bebasnya anak kecil. Mimpi terlalu tinggi pun tak takut jatuh. Semuanya indah, tak ada yang membatasi keindahan itu.


Aku pernah ditanya oleh guruku semasa SD. Waktu itu sedang belajar mata pelajaran Bahasa Indonesia. Semua murid ditanya soal apa cita-cita mereka. Si murid harus mendeskripsikan cita-citanya itu di depan kelas, di depan teman-temannya. Aku kebagian paling awal. Kenapa selalu aku yang menjadi korban. Selalu begitu. Aku selalu menjadi orang pertama dalam hal apapun; abseni siswa: aku urutan pertama, karena namaku satu-satunya yang berawalan “A”. Ketika mengerjakan soal-soal matematika di papan tulis, aku juga yang pertama di panggil, karena di absensi itulah namaku yang pertama. Kadang aku merasa paling sial. Selama beberapa caturwulan selalu aku yang menjadi kelinci percobaan.
Seorang anak berusia sembilan tahun ditanya oleh gurunya.
“Aziz, apa cita-citamu, nak?”
“Aku ingin menjadi seorang penulis?” jawabku dengan penuh percaya diri.
“Kenapa kamu ingin jadi penulis?
“Karena aku suka menulis, bu.”
“Tulisan apa yang sudah kamu buat, nak?”
“Aku menulis puisi, bu.”
“Bagus, nak. Lanjutkan! Jadilah kau seorang penulis!”
Aku mengangguk polos. Padahal sebenarnya aku hanya suka menulis puisi, tanpa tahu kalo menulis itu bisa menjadi propesi. Selanjutnya absen kedua; Dedi, dia ingin jadi dokter, Juanda; ingin jadi polisi, Muttaqin; ingin jadi pilot, dan semuanya pun teman-temanku mempunyai cita-cita. Meskipun kami waktu itu mempunyai cita-cita, kami terlalu lugu untuk mengerti bagaimana caranya untuk mewujudkan cita-cita itu. Bahkan seringkali setiap ditanya tentang apa cita-cita kalian? Masing-masing dari kami menjawab cita-cita kami yang lain. Yah, setiap hari cita-cita kami berubah-ubah.Kan anak kecil, jadi bebas, ya.
Betul, aku suka sekali merangkai kata. Rangkaian kata itu kita sebut puisi. Ya, aku suka bikin puisi. Puisi tentang apapun; tentang hujan, petir, kemarau, pohon, daun, sawah, ladang, kebun, dan apapun. Semuanya aku tulis. Keranjingan; barangkali itu yang tepat untuk menyebutnya. Aku menulis dimana saja; di papan tulis, di bangku, di tembok sekolah, di dalam WC, dan dimana-mana. Buku catatan pelajaranku isinya semua puisi dan cerita-cerita tentang kejadian yang aku alami. Buku catatan pelajaran beralih fungsi menjadi buku diary.
Suatu ketika di dalam kelas sedang belajar IPA.
“Anak-anak, kumpulkan PR-nya!” Perintah bu guru.
“Iya, bu .. “ Anak-anak menjawab. Kecuali aku. Kenapa? Karena aku belum mengerjakan PR.
Aku cemas. Ini adalah kebiasaanku; jarang sekali mengerjakan PR. Biasanya aku kerjakan di sekolah, beberapa saat sebelum mata pelajaran itu dimulai. PR, singkatan dari ‘Pekerjaan Rumah,’ beda untuku, jadi PS, alias ‘Pekerjaan Sekolah’ atau PSP, ‘Pekerjaan Sebelum Pelajaran’. Aku kebanyakan nulis, main PS sama PSP, eh, dulu belum ada, ada juga Gemebout. Itu kebiasaan buruk. Jangan ditiru, ya.
“Aziz, PR kamu mana?” Bu guru memanggil.
“Be .. be .. be .. be .. lum, bu.” Jawabku gagap.
“Apaaaaaaaa??!!” Si ibu menunjukan ekspresi marah di wajahnya.
Aku takut, dan tertunduk.
“Ibu liat, mana buku catatan kamu?”
“Ini, bu.” Aku serahkan buka itu.
Si ibu kemudian diam. Berhenti marah. Dia buka buku catatan itu, lembar demi lembar. Kemudian dia tersenyum. Sambil terus membuka lembarannya si ibu memanggilku.
“Kemari kamu, nak!” Suruh ibu guru.
Aku takut kalau dia akan marah lagi dan akan menghukumku karena belum mengerjakan PR. Aku melangkahkan kaki dengan hati was-was. Aku berjalan mendekatinya. Kemudian sampailah disampingnya dengan gelisah. Apalagi, di depan sudah di siapkan jidar atau penggaris besar terbuat dari kayu. Sudah pasti keras. Jidar itu sering digunakan untuk memukul betis siswa yang nakal atau mendapatkan hukuman.
Aku diam saja.
“Ini, kamu yang bikin?” Tanya bu guru.
“Iya, bu.” Kataku, masih takut.
“Jangan takut, ibu gak marah kok soal kamu tidak mengerjakan PR.”
“Hah?!”
“Asal kamu mau membacakan satu karya kamu ini di depan teman-temanmu. Bagaimana?”
“Iya, bu.” Jawabku, bersemangat.
Tawaran yang harus dimanfaatkan. Jarang sekali orang bisa terbebas dari hukuman dengan hanya membacakan puisi. Itu mudah. Langsung saja aku ambil buku catatanku dari bu guru. Kedepan. Kumulai dengan menghela nafas agak panjang, supaya aku siap dan tidak gugup. Kulihat anak-anak begitu antusias. Wajah polosnya terlihat sangat lugu dan tak sabar ingin melihat bagaimana aku membacakan puisi.Mulai beraksi.
SAHABAT
Oleh: Aziz Tanggoli
Sahabat, kau lebih dari sekedar teman
Kau papah aku saat kakiku terkilir
Kau jenguk aku ketika sakit
Kau beri aku obat

Sahabat, kau lebih dari sekedar teman
Kau selalu ada ketika aku ingin jajan
Kau tahu aku tak punya uang
Kau beri aku uang

Sahabat, kau lebih dari sekedar teman
Kau tahu ketika aku lapar
Kau tahu aku tak punya makanan
Kau beri aku cemilan
Oh, Sahabat, kau memang baik

Babakan Kiara, 05 Januari 1999
Itulah puisi yang aku bacakan. Sebenarnya aku hanya menuliskannya. Hanya menulis apa yang sedang aku rasakan, aku alami dan aku tuliskan. Aku juga merasa apakah itu puisi yang bagus atau jelek. Tapi, yang jelas, aku lihat bu guru da nana-anak berdecak dan bertepuk tangan setelah selesai aku mambacakannya.
Jika nanti akutidak mengerjakan PR lagi, aku akan langsung ke depan kelas dan membacakan puisi. Setelah itu selesai. Aku bisa duduk dan terbebas dari hukuman.


***
Tulisan ini dibuat ketika penulis rindu masa kecilnya, yang polos, bahagia dan menyenangkan. Betapa masa kecil sungguh menjadi masa yang indah, tanpa beban kami bermimpi tinggi-tinggi, tanpa rasa takut yang mungkin suatu hari nanti rasa takut itu akan menghampiri. Ya, rasa takut untuk mewujudkan mimpi-mimpi itu. Namun, satu hal yang harus kita ingat bahwa berani brmimpi adalah berani untuk maju. Mimpi akan terpatri dan mengembang menjadi sebuah cita-cita. Kejarlah, ciptalah, buktikan bahwa mimpi-mimpi itu akan segera terwujud!
Baca selengkapnya » 0 komentar

Copyright © Tanggoli Go Blog 2010

Template By NY