Saat ini, kebetulan aku mengikuti event yang
diadakan oleh Senat Fakultas Sains dan Teknologi UIN Sunan Gunung Djati
Bandung; yang diadakan di Metro Indah Mall Bandung, yaitu Senat Mencari Bakat
(SMB). Event ini diadakan untuk menggali bakat-bakat tersembunyi dari
para mahasiswa sains yang ada di lingkungan UIN Sunan Gunung Djati Bandung.
Juga bertujuan untuk menghilangkan image mahasiswa sains yang kuno,
katro, cupu dan tidak gaul, bagi sebagian orang yang menilainya seperti itu.
SMB ini ingin menegaskan bahwa mahasiswa sains tidak melulu hanya bergumul
dengan penelitiannya di laboratorium dengan modul-modulnya yang jenius,
kepalanya penuh sesak dijejali rumus-rumus. Tapi, sejatinya mereka dapat
bersosialisasi baik dan menjalin interaksi dengan kalangan umum di luaran sana.
Acara yang digelar adalah pentas seni. Setiap peserta
boleh unjuk gigi dan mengeksplorasi skill-nya di bidang musik, tari, break
dance, sulap, atau apapun yang berbau seni. Dalam acara ini, peserta bebas
berekspresi dan berkreasi tanpa dibatasi. Bintang tamunya Haur Genjleng,
kelompok karawitan Sunda dari Bandung.
Minggu pagi sekitar jam enam aku bersiap. Mandi, gosok
gigi, memakai pakaian terbaik dan tak lupa berias diri di depan cermin.
Terkesan narsis memang, untuk seorang anak laki-laki. Tapi ini bukan urusan
harga diri, tapi soal gengsi. Aku harus tampil memukau saat perform
nanti. Setelah dirasa sudah rapih dan matching,
aku pun memantapkan kepercayaan diri dan berangkat pergi.
Sekitar jam tujuh lebih tujuh menit aku berangkat dari
persemayamanku di sekretariat HIMASAIFI Cileunyi. Aku menggunakan angkot
jurusan Cileunyi-Caheum dan berhenti di Bundaran Cibiru yang menjadi transit
menuju tujuan yang berada di Jalan Soekarno-Hatta. Dari sini aku harus naik
Damri jurusan Cibiru-Elang agar bisa sampai ke Metro Indah Mall.
Di perjalanan, aku disuguhi nyanyian para pengamen yang
naik turun dan tarian lalu lalang pedagang asongan yang keluar masuk kendaraan.
Diwarnai serengehan gigi dari bibir-bibir jeding dan kerut kening para
penumpang yang merasa gerah kepanasan dipanggang suhu sekitar 35 derajat di
daerah Bandung bagian timur. Di pertengahan jalan, sekitar daerah Cibaduyut,
sesaat ketika aku sedang menikmati asyik lagu balada yang dibawakan dua orang
pengamen, tiba-tiba bus Damri berhenti. Terdengar suara laki-laki menyeru dari
luar.
“Eh, sia an****! Ku
aing di dagoan ti tatadi teu datang-datang. Aing cangkeul kop*** nungguan teh!”
Jika diterjemahkan
dalam bahasa Indonesia yang kasar: “Eh, an**** lo! Gua tungguin dari tadi gak
dateng-dateng. Gua pegel gob***!” Begitu laki-laki itu bicara kepada kondektur
bus.
Sang kondektur menjawab
dengan raut takut. “Punten, A', ti selterna rada telat. Penumpangna saeutikan
ayeuna mah.” (Maaf, Mas, dari shelter-nya agak telat. Penumpangnya
sekarang lagi sedikit.)
Tak mau tahu, si
laki-laki itu menimpal pernyataan kondektur. “Yeuh, Sia! Aing mah teu hayang
nyaho. Nu penting jatah aing mah kudu aya! Mana kadieukeun?!” Katanya dengan
garang sambil menengadahkan tangan.
Akhirnya, lama berselang; takut menyita waktu, supir
meneriakan peringatan kepada mereka yang sedang berbincang tegang.
“Meunggeus, bere weh
ngarah rehe. Urang geus telat yeuh!” (Sudah, kasih aja biar dia diam. Kita udah
telat nih!)
“Naon, sia! Montong
ngilu riweuh, hayang ditenggeul ku aing?!” (Apa lo! jangan ikut campur, mau aku
pukul, hah?!) Sentak laki-laki itu dengan muka garang.
Si sopir pun diam.
Sementara si kondektur mengeluarkan lima lembar uang seribuan dari saku baju
dinasnya. Dan memberikannya kepada laki-laki itu.
Kami, para penumpang yang dari tadi ikut tegang menyaksikan
persenggamaan kasar itu mulai tenang, setelah kondektur memberikan uang. Namun
apa yang terjadi? Belum juga cair
ketegangan itu, laki-laki itu berulah lagi.
“Nek, aing ngilu
numpang lah, rek balik ka imah.” (Nek, gua ikut numpang ya, mau pulang ke rumah.)
Katanya sambil naik ke dalam bus.
Kebetulan sekali, aku duduk paling belakang, di kursi
pertama dekat pintu. Laki-laki itu tepat sekali menatapku dengan pandangan
sinis penuh amarah ingin menguasai.
“Geser ka ditu lah, aing hayang diuk didieu deukeut lawang, hareudang.” (Geser ke sana lah, gua pengen duduk di situ deket pintu, gerah.) Katanya kepadaku.
“Geser ka ditu lah, aing hayang diuk didieu deukeut lawang, hareudang.” (Geser ke sana lah, gua pengen duduk di situ deket pintu, gerah.) Katanya kepadaku.
Aku pun mengiyakan,
karena takut dia bertindak macam-macam dan melukaiku. “Sok, mangga, A', abi
kapalih dieu.” (Iya, silahkan, Mas, saya sebelah sini saja.) Kataku sambil
menggeser bokongku dan duduk di kursi kedua, di sebelahnya.
Selama di dekatnya, aku diam tak berkutik dan tak
bersuara. Pucat pasi wajahku menandakan bahwa aku sangat ketakutan berada di
sebelahnya. Yang paling membuatku meringis adalah saat melihat gambar yang
menutupi tubuhnya, tak terkecuali wajahnya. Aku lihat, ia memakai kaos singlet
oblong. Jelas sekali gambar wanita telanjang di lengan kirinya yang terbuka. Gambar kepala naga hijau tertusuk
pedang bertengger di wajahnya yang kusam. Dan di betis kanannya terlihat ekor
naga itu terbelit melintang. Sepertinya seluruh badan laki-laki itu dibalut
penuh dengan tattoo.
Aku hanya memperhatikannya dengan sudut mata, tapi
ternyata diam-diam ia tahu bahwa dia sedang dalam pengawasanku. Laki-laki itu
pun menegurku. “Naon maneh! Ti tatadi ningalikeun aing wae!” (Apa lo! Dari tadi
merhatiin gua mulu!) Tegasnya kepadaku.
Aku melihat kemarahan
dari matanya yang merah menyala. Dengan gugup seperti sedang menghadapi ujian
lisan aku menjawab, “Henteu, A', teu nanaon.” (Enggak, Mas, gak apa-apa.)
Namun, laki-laki
bertato itu kemudian meneruskan tegurannya dengan nada yang merendah. “Kunaon,
A', sieun ku abi?” Tanyanya.
Aku diam saja.
“Wajar, A', mun Aa'
sieun. Pasti ningali kana waruga abi nu jelas-jelas barandalan. Tapi sabenerna
mah, abi kieu teh lain kahayang. Kapaksa, A'. hayang nyukupan pangabutuh. Da
gening hirup the ripuh, hese neangan gawe. Komo keur lulusan SMP jiga abi mah,
perusahaan mana nu daek narima. Nu matak abi ngahaja panampilan kieu teh,
ngarah dipikasieun ku batur, ngarah daraek marere, paduli ka sasama.” (Wajar,
Mas, kalau Mas takut. Pasti karena liat keadaan saya yang jelas-jelas
berandalan. Tapi, sebetulnya saya gak mau seperti ini. Terpaksa, Mas. Demi
mencukupi kebutuhan. Yah, hidup sekarang itu payah, susah nyari kerja. Apalagi
hanya lulusan SMP seperti saya, perusahaan mana yang sudi menerima.) Terangnya
penuh emosi.
Pada akhirnya, melihat laki-laki itu meratap. Naluri
sosialkupun mulai peka, dan meresponnya dengan membalas obrolan yang ia
lontarkan. Tak terasa selama perjalanan, kami terus saling bertukar pengalaman
dan saling memberikan masukan. Yang akhirnya, aku menyimpulkan bahwa ternyata
penampilan kadangkala menipu dan jauh dari perwujudan sebenarnya. Yah, mereka
adalah kaum marjinal yang terasingkan dari kehidupan yang layak. Mereka memilih
jadi orang lain untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Tak apalah, mungkin itu
jalan yang mereka pilih. Toh jika ada pilihan yang lebih baik, laki-laki itu
berkata kepadaku akan meninggalkan segala bentuk kebohongan yang ia lakukan
atas dirinya.
Satu setengah jam perjalanan, akhirnya sampai di tempat
tujuan, Metro Indah Mall. “I am comming SMB! Aku siap beraksi!” Teriakku girang
karena sebentar lagi aku perform.
Acarapun
dibuka pada jam 8.30 dengan pementasan seni tradisional dari kelompok seni
karawitan Haur Genjleng. Tiba giliranku di undian ketujuh, aku membawakan
sebuah lagu yang aku ciptakan sendiri, berjudul “Optimislah”. Dengan diiringi
petikan gitar dan gonjrengan semu blues, aku bernyanyi penuh semangat.
Di tengah-tengah lagu, untuk mengisi kekosongan melodi karena aku bermain
sendiri, maka aku berdialektik narasi menceritakan isi lagu dan pesannya kepada
juri dan penonton, tanpa berhenti memainkan gitar.
“Persis seperti
penyanyi balada Iwan Fals yang sedang perform di panggung besar di tengah
lapangan Gasibu Bandung minggu lalu.” Harapku dalam lamun.
Lagu
ini memang berceritera tentang perjalanan hidup seseorang saat berjuang melawan
hidup yang tak bersahabat dengannya. Dan kemudian seseorang teman datang untuk
menyemangatinya agar ia bertahan dan bisa jadi pemenang.
OPTIMISLAH
Song
1: menapaki ruang yang gelap
tak sedikit pun cahaya menerangiku
merasakan terik menyengat,
panas matahari membakarku
Bridge:
percaya, waktu bisa merubah segalanya
Reff: yakinkanlah, bahwa dirimu
mampu dan tak akan pernah kau
menyerah
optimislah dengan dirimu
percayalah, bahwa bersama kita bisa
Song
2: bukan keadaan yang salah
hanya saja kita yang terlalu lemah
terpedaya buayan dusta
terjerat tipu manis dunia
Bridge:
pastikan, kita bisa merubah segalanya
Begitulah,
aku sangat menikmati nyanyianku. Hingga aku tersadar betapa banyak decak
kekaguman dan tepukan tangan para penonton yang memenuhi seisi ruangan di kafe
Kampung Periangan, lantai paling atas Metro Indah Mall. Tak lama berselang,
setelah aku selesai perform dan menerima banyak sekali ucapan hebat.
“Wah,
suaramu bagus, permainan gitarmu ngeblues. Lagu kamu sangat unik dan nyentrik,
tapi syarat makna dan memotivasi. Lolos ke final ya,” kata salah satu juri
perwakilan dari Purwacaraka Music Studio.
Di
tengah riuh itu, tiba-tiba aku teringat laki-laki di bus Damri tadi.
Sebenarnya, sebelum perform aku sudah menyiapkan lagu dengan judul yang
berbeda. Tapi setelah perjalanan dan perkenalan singkat dengan laki-laki
ber-tattoo itu, aku berubah pikiran dan ingin menyanyikan lagu “Optimislah,”
yang tadi aku nyanyikan.
***
Dan, laki-laki itu
sudah keluar lebih dulu dari bus, di persimpangan jalan dekat stopan, sebelum
aku sampai.
“Kawan, semoga kau
mendengarkan nyanyianku tadi yang kupersembahkan untukmu. Kuharap suatu saat
aku bertemu lagi denganmu, dengan pakaianmu yang beda, kulit berbeda dan
suasana yang berbeda. Kutahu kau tak inginkan itu, Kawan. Semoga kau dapatkan
dirimu yang lebih baik, suatu saat, pada waktu yang baik dan tepat.”
Bandung, 2011
Bandung, 2011