Gambar Dari: omenkstory.wordpress.com |
Pernahkah kalian mempunyai keinginan atau sebuah
harapan di masa kecil? Tentu pernah. Keinginan atau harapan itu disebut
cita-cita. Daya khayal yang tinggi, eksplorasi pengetahuan melanglangi dunia
imajinasi. Ketidak masuk akal-an seolah sah, dan tidak mendapati sanksi apapun.
Kita bebas berkhayal, kita bebas bermimpi dan kita bebas melakukan apapun dalam
sisi imajinasi kita. Betapa bebasnya anak kecil. Mimpi terlalu tinggi pun tak
takut jatuh. Semuanya indah, tak ada yang membatasi keindahan itu.
Aku pernah ditanya oleh guruku semasa SD. Waktu itu sedang belajar mata pelajaran Bahasa Indonesia. Semua murid ditanya soal apa cita-cita mereka. Si murid harus mendeskripsikan cita-citanya itu di depan kelas, di depan teman-temannya. Aku kebagian paling awal. Kenapa selalu aku yang menjadi korban. Selalu begitu. Aku selalu menjadi orang pertama dalam hal apapun; abseni siswa: aku urutan pertama, karena namaku satu-satunya yang berawalan “A”. Ketika mengerjakan soal-soal matematika di papan tulis, aku juga yang pertama di panggil, karena di absensi itulah namaku yang pertama. Kadang aku merasa paling sial. Selama beberapa caturwulan selalu aku yang menjadi kelinci percobaan.
Aku pernah ditanya oleh guruku semasa SD. Waktu itu sedang belajar mata pelajaran Bahasa Indonesia. Semua murid ditanya soal apa cita-cita mereka. Si murid harus mendeskripsikan cita-citanya itu di depan kelas, di depan teman-temannya. Aku kebagian paling awal. Kenapa selalu aku yang menjadi korban. Selalu begitu. Aku selalu menjadi orang pertama dalam hal apapun; abseni siswa: aku urutan pertama, karena namaku satu-satunya yang berawalan “A”. Ketika mengerjakan soal-soal matematika di papan tulis, aku juga yang pertama di panggil, karena di absensi itulah namaku yang pertama. Kadang aku merasa paling sial. Selama beberapa caturwulan selalu aku yang menjadi kelinci percobaan.
Seorang anak berusia sembilan tahun ditanya oleh
gurunya.
“Aziz, apa cita-citamu, nak?”
“Aku ingin menjadi seorang penulis?” jawabku dengan
penuh percaya diri.
“Kenapa kamu ingin jadi penulis?
“Karena aku suka menulis, bu.”
“Tulisan apa yang sudah kamu buat, nak?”
“Aku menulis puisi, bu.”
“Bagus, nak. Lanjutkan! Jadilah kau seorang penulis!”
Aku mengangguk polos. Padahal sebenarnya aku hanya
suka menulis puisi, tanpa tahu kalo menulis itu bisa menjadi propesi.
Selanjutnya absen kedua; Dedi, dia ingin jadi dokter, Juanda; ingin jadi
polisi, Muttaqin; ingin jadi pilot, dan semuanya pun teman-temanku mempunyai
cita-cita. Meskipun kami waktu itu mempunyai cita-cita, kami terlalu lugu untuk
mengerti bagaimana caranya untuk mewujudkan cita-cita itu. Bahkan seringkali
setiap ditanya tentang apa cita-cita kalian? Masing-masing dari kami menjawab
cita-cita kami yang lain. Yah, setiap hari cita-cita kami berubah-ubah.Kan anak kecil, jadi bebas, ya.
Betul, aku suka sekali merangkai kata. Rangkaian
kata itu kita sebut puisi. Ya, aku suka bikin puisi. Puisi tentang apapun;
tentang hujan, petir, kemarau, pohon, daun, sawah, ladang, kebun, dan apapun.
Semuanya aku tulis. Keranjingan; barangkali itu yang tepat untuk menyebutnya.
Aku menulis dimana saja; di papan tulis, di bangku, di tembok sekolah, di dalam
WC, dan dimana-mana. Buku catatan pelajaranku isinya semua puisi dan
cerita-cerita tentang kejadian yang aku alami. Buku catatan pelajaran beralih
fungsi menjadi buku diary.
Suatu ketika di dalam kelas sedang belajar IPA.
“Anak-anak, kumpulkan PR-nya!” Perintah bu guru.
“Iya, bu .. “ Anak-anak menjawab. Kecuali aku.
Kenapa? Karena aku belum mengerjakan PR.
Aku cemas. Ini adalah kebiasaanku; jarang sekali mengerjakan
PR. Biasanya aku kerjakan di sekolah, beberapa saat sebelum mata pelajaran itu
dimulai. PR, singkatan dari ‘Pekerjaan Rumah,’ beda untuku, jadi PS, alias
‘Pekerjaan Sekolah’ atau PSP, ‘Pekerjaan Sebelum Pelajaran’. Aku kebanyakan nulis,
main PS sama PSP, eh, dulu belum ada, ada juga Gemebout. Itu kebiasaan buruk.
Jangan ditiru, ya.
“Aziz, PR kamu mana?” Bu guru memanggil.
“Be .. be .. be .. be .. lum, bu.” Jawabku gagap.
“Apaaaaaaaa??!!” Si
ibu menunjukan ekspresi marah di wajahnya.
Aku takut, dan tertunduk.
“Ibu liat, mana buku catatan kamu?”
“Ini, bu.” Aku
serahkan buka itu.
Si ibu kemudian diam. Berhenti marah. Dia buka buku
catatan itu, lembar demi lembar. Kemudian dia tersenyum. Sambil terus membuka
lembarannya si ibu memanggilku.
“Kemari kamu, nak!” Suruh ibu guru.
Aku takut kalau dia akan marah lagi dan akan
menghukumku karena belum mengerjakan PR. Aku melangkahkan kaki dengan hati
was-was. Aku berjalan mendekatinya. Kemudian sampailah disampingnya dengan
gelisah. Apalagi, di depan sudah di siapkan jidar
atau penggaris besar terbuat dari kayu. Sudah pasti keras. Jidar itu sering digunakan untuk memukul betis siswa yang nakal
atau mendapatkan hukuman.
Aku diam saja.
“Ini, kamu yang bikin?” Tanya bu guru.
“Iya, bu.” Kataku, masih takut.
“Jangan takut, ibu gak marah kok soal kamu tidak
mengerjakan PR.”
“Hah?!”
“Asal kamu mau membacakan satu karya kamu ini di
depan teman-temanmu. Bagaimana?”
“Iya, bu.” Jawabku, bersemangat.
Tawaran yang harus dimanfaatkan. Jarang sekali orang
bisa terbebas dari hukuman dengan hanya membacakan puisi. Itu mudah. Langsung
saja aku ambil buku catatanku dari bu guru. Kedepan. Kumulai dengan menghela
nafas agak panjang, supaya aku siap dan tidak gugup. Kulihat anak-anak begitu
antusias. Wajah polosnya terlihat sangat lugu dan tak sabar ingin melihat
bagaimana aku membacakan puisi.Mulai beraksi.
SAHABAT
Oleh:
Aziz Tanggoli
Sahabat, kau lebih dari sekedar
teman
Kau papah aku saat kakiku terkilir
Kau jenguk aku ketika sakit
Kau beri aku obat
Sahabat, kau lebih dari sekedar
teman
Kau selalu ada ketika aku ingin
jajan
Kau tahu aku tak punya uang
Kau beri aku uang
Sahabat, kau lebih dari sekedar
teman
Kau tahu ketika aku lapar
Kau tahu aku tak punya makanan
Kau beri aku cemilan
Oh, Sahabat, kau memang baik
Babakan Kiara, 05 Januari 1999
Itulah puisi yang aku bacakan. Sebenarnya aku hanya
menuliskannya. Hanya menulis apa yang sedang aku rasakan, aku alami dan aku
tuliskan. Aku juga merasa apakah itu puisi yang bagus atau jelek. Tapi, yang
jelas, aku lihat bu guru da nana-anak berdecak dan bertepuk tangan setelah
selesai aku mambacakannya.
Jika nanti akutidak mengerjakan PR lagi, aku akan
langsung ke depan kelas dan membacakan puisi. Setelah itu selesai. Aku bisa duduk dan terbebas
dari hukuman.
***
Tulisan
ini dibuat ketika penulis rindu masa kecilnya, yang polos, bahagia dan
menyenangkan. Betapa masa kecil sungguh menjadi masa yang indah, tanpa beban
kami bermimpi tinggi-tinggi, tanpa rasa takut yang mungkin suatu hari nanti
rasa takut itu akan menghampiri. Ya, rasa takut untuk mewujudkan mimpi-mimpi
itu. Namun, satu hal yang harus kita ingat bahwa berani brmimpi adalah berani
untuk maju. Mimpi akan terpatri dan mengembang menjadi sebuah cita-cita.
Kejarlah, ciptalah, buktikan bahwa mimpi-mimpi itu akan segera terwujud!